Fatwa-fatwa bagi Orang Sakit yang Ada di Rumah Sakit dan Para Pekerja yang Ada di Sana (Bag. 2)

BAGIAN KEDUA [1]

Pertanyaan Ke-16 : Dokter Wanita Memeriksa Pasien Pria

Bagaimana pendapat syaikh bagi seorang dokter gigi wanita yang memeriksa gigi seorang pria, apakah hal itu diperbolehkan, sedangkan telah diketahui banyak dokter pria di dalam bidang ini di negeri yang sama?

Jawaban:

Kami sudah berusaha keras dan bekerja sama bersama para penanggung jawab agar dokter pria dikhususkan untuk pria dan dokter wanita khusus bagi wanita, demikian pula di bidang kedokteran gigi dan yang lainnya. Dan inilah yang benar, karena sesungguhnya wanita adalah aurat dan fitnah bagi kaum lelaki kecuali bagi orang yang dilindungi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka hendaknya para dokter wanita dikhususkan bagi kaum wanita, demikian pula dokter pria dikhususkan bagi kaum pria kecuali di dalam keadaan yang sangat darurat, seperti ketika seorang pria jatuh sakit dan kala itu tidak ada dokter pria yang mengatasinya, maka hal ini tidak jadi masalah baginya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“… Padahal sesungguhnya Allah telas menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (QS. Al-An’aam: 19)

Jika tidak demikian, maka hendaknya dokter pria khusus untuk kaum pria dan dokter wanita khusus untuk wanita. Dan hendaknya kaum pria memiliki departemen sendiri, demikian pula kaum wanita yang memiliki departemen tersendiri. Atau ada sebuah rumah sakit yang khusus untuk kaum pria dan rumah sakit yang khusus untuk kaum wanita sehingga semuanya bisa menjauh dari bahaya dan percampurbauran yang diharamkan. Inilah yang wajib atas setiap orang.

Pertanyaan Ke-17 : Bolehkah Wanita Membuka Wajah?

Saya adalah seorang dokter yang diutus untuk melanjutkan pendidikan di luar Saudi Arabia. Akan tetapi istri saya menolaknya dengan alasan negara yang saya tuju adalah negara kafir, maka bagaimana dia bisa menjaga pakaian islaminya? Dan apakah membuka wajah itu haram hukumnya secara khusus dan hal itu merupakan hal yang sangat mendasar walaupun masuk ke negeri mana saja?

Jawaban:

Seharusnya bagi seorang mukminah memakai pakaian yang menutup aurat dan memakai hijab karena sesungguhnya menampakkan wajah atau sebagian dari badannya adalah sebuah fitnah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“… Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka ….” (QS. Al-Ahzab: 53)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa memakai hijab adalah sesuatu yang lebih suci bagi hati, sedangkan tidak memakainya adalah sebuah bahaya bagi hati setiap orang. Di dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu….” (QS. Al-Ahzab: 59)

Jilbab maknanya adalah sejenis pakaian yang dipakai di kepala seorang wanita dan badannya sehingga menutup muka dan badannya sebagai tambahan dari pakaiannya yang biasa ia kenakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka…” (QS. An-Nuur: 31)

Jadi seharusnya seorang wanita menutup wajah dan yang lainnya dari laki-laki lain, tegasnya yang bukan mahram. Hal ini berdasarkan ayat-ayat yang telah dijelaskan, dan karena sesungguhnya wajah adalah fitnah yang merupakan perhiasan paling nampak. Akan tetapi tidak mengapa menggunakan cadar, yaitu penutup wajah yang membuka satu mata atau keduanya. Dan jika seorang wanita diwajibkan menutup pakaiannya seperti di hadapan seorang mukmin, maka di hadapan orang kafir lebih wajib. Jika mereka mengingkari, maka terkadang mereka mengingkarinya, kemudian mereka tahu setelah dijelaskan bahwa hal itu merupakan kewajiban di dalam agama Islam.

Pertanyaan Ke-18 : Bolehkah Sterilisasi Kandungan?

Apakah hukumnya membersihkan rahim untuk menjadikannya mandul, atau dengan kata lain menghalangi kehamilan karena beberapa sebab medis baik sekarang atau berlanjut untuk masa yang akan datang seperti yang diperkirakan oleh sebuah lembaga medis atau penelitian?

Jawaban:

Jika ada sesuatu yang sangat darurat, maka hal itu tidak mengapa. Jika tidak demikian, maka sesungguhnya agama Islam sangat mendorong untuk memiliki keturunan, bahkan mendorong untuk memperbanyaknya. Tetapi jika berada di dalam keadaan darurat, maka hal itu tidak masalah, seperti diperbolehkan baginya menggunakan alat kontrasepsi dalam jangka tertentu karena ada kemaslahatan secara hukum agama.

Pertanyaan Ke-19 : Menggugurkan Janin yang Cacat

Jika sebuah janin telah sempurna bentuknya, lalu nampaklah adanya aib atau keburukan rupa pada janin tersebut pada bulan-bulan kehamilan, bolehkah jika janin tersebut digugurkan sebelum bulan kelahirannya sempurna?

Jawaban:

Hal itu tidak diperbolehkan, bahkan seharusnya hal itu ditinggalkan, karena terkadang Allah merubahnya. Terkadang para dokter berprasangka dengan banyak perkiraan, lalu Allah membatalkan semua prasangka tersebut, dan si anak lahir dalam keadaan selamat. Sesungguhnya Allah mencoba hamba-Nya dengan sesuatu yang menyenangkan juga dengan sesuatu yang menyakitkan. Tidak dibenarkan menggugurkan si janin hanya karena dokter mengatakan ada kecacatan atau keburukan rupa padanya, akan tetapi dia harus membiarkannya (tanpa menggugurkannya). Jika dia menemukan si anak dalam keadaan cacat, maka dia harus memuji kepada Allah, dan jika kedua orang tua bisa mendidiknya dengan penuh kesabaran, maka mereka berdua akan mendapatkan pahala yang sangat besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bisa pula bagi mereka berdua menyerahkan anak tersebut ke lembaga yang khusus menanggulangi anak yang demikian yang telah dibentuk oleh negara, maka yang demikian tidaklah mengapa. Terkadang keadaan berubah, semua menyangka bahwa dia cacat ketika dia berumur lima atau enam bulan, kemudian keadaan berubah, Allah menyembuhkannya dan sebab-sebab kecacatan atau keburukan rupa hilang dari diri si anak.

Pertanyaan Ke-20 : Hukum Orang yang Berkelamin Ganda

Apakah seorang banci diperlakukan seperti layaknya seorang wanita padahal kenyataannya tidak jelas? Apakah segala hukum yang berlaku pada seorang wanita tetap padanya pula seperti adanya masa iddah dan masalah lain yang berhubungan dengan wanita?

Jawaban:

Hukum seorang banci diterapkan secara terperinci. Seorang banci sebelum masa baligh keadaannya tidak jelas; apakah dia wanita atau pria, karena dia memiliki dua alat kelamin; kelamin pria dan wanita. Dan setelah baligh terkadang jelas baginya, apakah dia seorang pria atau wanita. Jika nampak baginya tanda-tanda kewanitaan, seperti payudara yang menonjol atau sesuatu yang membedakan dengan kaum pria seperti adanya darah haid dan keluarnya air kencing dari kemaluan wanita, maka orang tersebut dihukumi layaknya seorang wanita dan alat kelamin prianya wajib dihilangkan dengan pengobatan medis yang terpercaya. Jika nampak padanya tanda-tanda kelelakian seperti adanya jenggota atau kencing dari alat kelamin pria, atau tanda yang lainnya yang diketahui oleh para dokter, maka dia dihukumi seorang pria dan diperlakukan layaknya seorang pria. Adapun sebelum itu, maka hukumnya tertunda sehingga diketahui dengan jelas keberadaannya, dan tidak boleh dinikahkan sehingga jelas; apakah dia seorang pria atau wanita. Dan hal itu bisa diketahui setelah baligh sebagaimana dikatakan oleh para ahli dengan adanya tanda-tanda (yang memperjelasnya).

Pertanyaan Ke-21 : Mengubur Anggota Tubuh yang Terpotong

Apakah hukumnya menghilangkan salah satu bagian dari manusia yang merupakan kelebihan dari anggota tubuhnya, seperti menghilangkan satu jari tambahan atau yang lainnya, apakah jari tersebut dibuang bersama sesuatu yang tidak berharga ataukah dikumpulkan dan diperintahkan kepada seseorang agar menguburnya di pekuburan kaum muslimin?

Jawaban:

Masalah ini sangat fleksibel, tidak dihukumi secara khusus layaknya seperti manusia, dan tidak masalah jika anggota badan tersebut dibuang pada tempat pembuangan atau dikubur di dalam tanah sebagai sebuah penghormatan, saya kira ini lebih utama. Jika tidak demikian sebenarnya masalah ini sangat fleksibel. Maka segala puji hanya milik Allah. Sebagaimana yang telah kami katakan tadi, tidak diwajibkan memandikannya dan dikubur kecuali jika janin yang telah genap empat bulan. Adapun jika hanya merupakan daging yang belum dihembuskan kepadanya ruh atau hanya merupakan jari atau yang lainnya, maka sesungguhnya masalah ini sangat fleksibel. Akan tetapi jika dikubur di tanah yang baik, maka hal itu lebih utama dan lebih baik.

Pertanyaan Ke-22 : Mendakwahi Pasien Narkoba

Sebagian pasien yang suka minum minuman keras atau selalu mengonsumsi narkoba datang berkonsultasi kepada saya, biasanya setelah melakukan hal itu mereka melanjutkannya dengan perbuatan maksiat lain seperti zina dan homoseksual, apakah wajib kepadaku berdakwah kepada mereka atau tidak?

Jawaban:

Wajib bagimu memberikan nasehat kepada mereka, dan mendorong mereka untuk bertaubat dengan tetap menutupi aib mereka dan tidak membongkar keburukan mereka. Juga dengan membantu mereka agar selalu melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, mengabarkan kepada mereka sesungguhnya Allah Maha Menerima taubat bagi seseorang yang bertaubat kepada-Nya. Juga dengan memberikan peringatan kepada mereka agar tidak kembali kepada kemaksiatan seperti itu. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar….” (QS. At-Taubah: 71)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam ayat lain:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Agama itu adalah nasehat.”

Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat.”

Kedua hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya. Dan hanya Allah-lah yang Maha Memberikan pertolongan.

Pertanyaan Ke-23 : Taubat Pasien Penyakit AIDS

Seseorang tertimpa penyakit AIDS, dan para dokter menetapkan bahwa umurnya di kehidupan ini sebentar lagi, maka apakah hukum taubat orang yang seperti itu kala itu?

Jawaban:

Dia wajib bersegera untuk bertaubat, walaupun pada detik-detik terakhir kematiannya, karena sesungguhnya pintu taubat masih terbuka luas selama akalnya masih ada, karena itu dia wajib bertaubat dengan segera dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan, walaupun mereka mengatakan bahwa umurmu pendek. Sesungguhnya umur itu ada di tangan Allah dan terkadang prasangka mereka itu keliru sehingga dia masih bisa hidup lebih lama, bagaimanapun keadaannya, maka yang wajib baginya adalah bersegera untuk bertaubat dengan benar sehingga Allah mengampuni segala dosanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“… Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur: 31)

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. Thaha: 82)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah akan selalu menerima taubat seorang hamba selama ruhnya belum sampai di tenggorokan.”

Maksudnya adalah selama ruh seorang manusia belum sampai di tenggorokan dan selama belum hilang kesadarannya. Hanya kepada Allah-lah kita memohon ampunan.

Pertanyaan Ke-24 : Pegawai yang Meninggalkan Tugas Tanpa Alasan

Sebagian pegawai pergi meninggalkan pekerjaannya hanya ada kepentingan pribadi selain pekerjaan, lalu dia memohon izin kepada kepala yang bertanggung jawab dan membuat-buat alasan yang terkadang bisa dimengerti atau tidak dimengerti, jika ketuanya mengetahui alasannya yang tidak benar, apakah dia berdosa jika menyetujui alasan tersebut?

Jawaban:

Tidak dibolehkan seorang direktur atau orang yang bertanggung jawab atas bawahannya menyepakati sesuatu yang diyakini bahwa hal itu tidak benar. Bahkan wajib baginya meneliti, jika memang ada sesuatu yang mendesak dalam perizinan untuk sebuah keperluan yang sangat penting dan tidak berdampak negatif kepada pekerjaan, maka hal itu diperbolehkan. Sedangkan alasan yang bathil atau yang lebih dominan tidak benar, maka wajib bagi kepala yang bertanggung jawab atasnya untuk tidak menyetujui alasan tersebut, karena sesungguhnya hal itu merupakan pengkhianatan terhadap sebuah amanah dan termasuk tidak adanya nasehat kepada seseorang yang diberikan amanah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang ia pimpin.”

Inilah amanah, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya….” (QS. An-Nisaa’: 58)

Ketika menyifati orang-orang yang beriman, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mu’minun: 8 )

Di dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)

Pertanyaan Ke-25 : Menghadapkan Orang yang Hendak Meninggal ke Arah Kiblat

Sebagian pasien dari kaum muslimin di rumah sakit meninggal dengan tidak menghadap kiblat karena tempat tidurnya tidak diletakkan dengan posisi yang memungkinkan si pasien menghadap kiblat. Bagaimana hukumnya?

Jawaban:

Ini tidak jadi masalah, hanya saja disunnahkan bagi orang yang sedang sakit dihadapkan ke arah kiblat jika hal itu bisa dilakukan ketika maut menghampirinya. Jika tidak bisa, maka hal itu tidak masalah.

Pertanyaan Ke-26 : Mengambil Obat Apotik yang Tidak untuk Dijual

Apakah hukum seseorang yang mengambil obat-obatan dari sebuah apotik resmi di bawah pengawasan, lalu dia mengirimkannya kepada pasien di rumah sakit lain atau di rumah dengan alasan bahwa dia adalah seorang muslim dan obat-obatan tersebut tidak untuk dijual?

Jawaban:

Masalah ini memiliki aturan tersendiri yang harus diperhatikan, jika apotik itu adalah apotik khusus untuk rumah sakit tertentu, maka tidak dibenarkan bagi seseorang mengirimkan obat-obatan tersebut kepada lain, karena rumah sakit tersebut memiliki pasien khusus. Jadi seharusnya obat-obatan tersebut dikirim kepada rumah sakit yang khusus untuknya dan tidak dipindahkan ke rumah sakit yang lain. Setiap rumah sakit memiliki apotik tersendiri, maka tidak dibenarkan memindahkannya dari satu rumah sakit kepada yang lainnya, karena hal tersebut adalah peraturan pemerintah yang perlu diperhatikan. Kecuali jika ada izin khusus dari pihak departemen kesehatan untuk memindahkan obat dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain, maka kasus seperti ini tidak jadi masalah. Jadi pada dasarnya adalah wajib bagi semua untuk menaati anjuran pemerintah dengan tidak menambahkannya.

Pertanyaan Ke-27 : Hukum Tidak Mendatangi Adzan

Apakah hukum seseorang yang mendengarkan suara adzan tetapi ia tidak pergi ke masjid walaupun dia melakukan shalat di dalam rumah pada semua waktu atau di dalam ruang kerja?

Jawaban:

Itu tidak dibenarkan, seharusnya ia menjawab panggilan adzan tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa mendengarkan adzan, lalu dia tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada udzur.” (Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah, ad-Daruquthni, Ibnu Hibban dan al-Hakim dengan sanad yang shahih)

Ibnu ‘Abbas ditanya, “Apakah udzur itu?” beliau menjawab, “Rasa takut atau sakit.”

Seseorang yang buta datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah! Aku adalah orang buta dan tidak ada seorang pun yang menuntunku untuk pergi ke masjid untuk melakukan shalat, maka apakah ada keringanan bagiku untuk melakukan shalat di rumah?” Lalu Nabi bertanya, “Apakah engkau mendengarkan panggilan shalat?” Dia menjawab, “Betul.” Rasul berkata, “Maka penuhilah panggilan tersebut.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.

Jika orang buta yang tidak memiliki seseorang yang membawa dia ke masjid tidak diberikan keringanan untuk melakukan shalat di rumah, maka yang lainnya lebih utama.

Alhasil, seharusnya setiap muslim bersegera untuk melakukan shalat pada waktunya dengan berjamaah. Adapun jika dia berada jauh dari masjid dan tidak mendengarkan adzan, maka tidak mengapa baginya untuk melakukan shalat di rumah. Dan jika ia bertahan menahan kesulitan, tetap bersabar dengan melakukan shalat berjamaah, maka itu adalah sebuah kebaikan dan keutamaan.

Pertanyaan Ke-28 : Bahaya Khalwat

Sebagian pekerja di bagian kesehatan bekerja dengan berkhalwat (berdua-duaan) bersama wanita yang bukan mahram, khususnya pada akhir malam pada bagian pembiusan di dalam kantor-kantaor para dokter secara khusus. Dan ketika menasehati mereka untuk membuat solusi di dalam masalah ini, maka mereka mengarahkan berbagai celaan kepada para penanggung jawab. Maka alangkah baiknya jika ada bimbingan dan petunjuk di dalam masalah seperti ini.

Jawaban:

Seharusnya pekerjaan seperti ini dilakukan oleh kaum pria yang terpercaya, dan jika membutuhkan kaum wanita, maka mestinya ada sekelompok wanita sehingga tidak terjadi khalwat (berduaan). Sekelompok di sini adalah dua atau lebih sehingga mereka menjadi satu kelompok khusus sebagaimana kaum pria pun demikian, mereka untuk kaum wanita dan sebagian yang lain untuk kaum pria. Tidaklah dibenarkan jika seorang pria berkhalwat dengan wanita yang bukan mahram, baik pada malam hari atau siang. Demikian pula tidak dibenarkan bagi seorang dokter pria berduaan dengan dokter wanita atau dengan seorang perawat wanita. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita, karena sesungguhnya syaitan adalah pihak ketiganya.”

Pertanyaan Ke-29 : Hadiah untuk Pimpinan

Apakah hukumnya memberikan sesuatu yang berharga kepada seorang pimpinan dengan alasan bahwa hal itu sekedar hadiah?

Jawaban:

Ini adalah sebuah kesalahan dan jalan untuk berbagai kejelekan. Seharusnya bagi seorang pimpinan tidak menerima hadiah, karena hal ini bisa merupakan suapan yang menjurus kepada sebuah pengkhianatan dan sikap kepura-puraan. Kecuali jika dia mengambilnya untuk kemaslahatan rumah sakit bukan untuk kepentingan pribadi, dan orang yang diberi memberitahukan tujuannya itu dengan berkata, “Ini untuk kebutuhan rumah sakit bukan untuk kepentingan pribadiku.” Untuk lebih hati-hati adalah menolaknya secara mutlak baik untuk kepentingan rumah sakit apalagi kepentingan pribadi. Karena mengambilnya untuk kepentingan rumah sakit terkadang mendorong seseorang memanfaatkannya guna kepentingan pribadi sehingga menimbulkan prasangka buruk. Hal itu terkadang menjadikan orang yang diberikan hadiah menjadi lebih berani juga selalu berusaha memperlakukannya lebih baik daripada staf yang lain.

Ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus beberapa orang untuk mengumpulkan zakat, dari mereka berkata, “Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku.” Selanjutnya Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkarinya lalu berkhutbah dan berkata:

“Ada apa gerangan dengan salah seorang di antara kalian, kami menugaskannya untuk melakukan salah satu perintah dari perintah-perintah Allah, lalu dia berkata, ‘Ini untuk kalian dan ini dihadiahkan untukku,’ kenapa ia tidak duduk saja di rumah bapaknya, atau di rumah ibunya, lalu dia menunggu apakah dia akan diberi hadiah atau tidak?”

Hadits ini shahih diriwayatkan oleh Muslim.

Hadits ini menunjukkan bahwa seharusnxa para pegawai melaksanakan segala tugas yang diemban pada pekerjaan apa saja dari pekerjaan suatu negara, dia tidak berhak untuk mengambil hadiah atau segala hal yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jika dia mengambilnya, maka ia harus meletakkannya di Baitul Maal. Dia tidak berhak mengambilnya guna kepentingan pribadi sebagaimana dijelaskan di dalam hadits di atas. Demikian pula hal itu merupakan jalan menuju kejelekan juga pengkhianatan terhadap sebuah amanah, akhirnya tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Catatan kaki:

[1] Fatwa-fatwa berikut ini merupakan jawaban dari berbagai pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh bin Baaz pada penutupan Muhadharah di Rumah Sakit an-Nuur – Makkah al-Mukarramah pada hari Senin, 27-7-1412 H.

Sumber: Panduan Shalat dan Bersuci bagi Orang Sakit karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani (penerjemah: Zaki Rakhmawan dan Beni Sarbeni), penerbit: Pustaka Ibnu Katsir, Bogor. Cet. Pertama Muharram 1427 H – Februari 2006 M, hal. 137-163. (Catatan: Judul pada setiap pertanyaan merupakan tambahan dari admin blog)

Baca bagian yang sebelumnya.

About Fadhl Ihsan

Silakan temukan saya di http://facebook.com/fadhl.ihsan

Posted on 08/09/2010, in Uncategorized and tagged , , . Bookmark the permalink. 7 Komentar.

Tinggalkan komentar