Apa Hukum Euthanasia?

Secara bahasa, euthanasia berasal dari bahasa Yunani, eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Sementara dalam fiqh Islam, euthanasia ini diistilahkan dengan qatl ar-rahmah (membunuh karena kasihan) atau taisir al-maut (mempermudah kematian).

Adapun secara istilah, maka euthanasia adalah praktik memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit -karena kasih sayang-, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif (aktif) maupun negatif (pasif).

Euthanasia biasa dilakukan dengan alasan bahwa pengobatan yang diberikan kepada pasien hanya akan memperpanjang penderitaannya. Ditambah bahwa pengobatan itu sendiri tidak akan mengurangi penyakit yang diderita yang memang sudah parah. Atau menurut perhitungan medis, penyakit itu sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau si pasien sudah tidak akan bertahan lama.

Atau bisa juga dengan alasan bahwa pihak keluarga pasien tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar pengobatannya sementara walaupun pengobatan dilanjutkan juga tidak akan membawa hasil positif. (http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia#cite_note-25)

Bentuk-bentuk Euthanasia

Dalam definisi di atas sudah diisyaratkan bahwa euthanasia mempunyai dua bentuk:

A. Euthanasia Aktif atau Positif.
Dia adalah tindakan memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), yang biasanya berupa penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien.

Misalnya: Ada seseorang menderita penyakit yang sangat kronis atau sudah sampai pada stadium akhir, yang disertai dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin jika si pasien tidak akan bertahan lama. Maka dokter kemudian memberinya obat (morfin atau semacamnya) dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, akan tetapi sekaligus menghentikan pernapasannya.

B. Euthanasia Pasif atau Negatif.
Dia adalah tindakan menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Dimana penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian si pasien.

Penghentian pengobatan biasanya dilakukan dengan mencabut alat bantu pernafasan dari pasien yang notabene merupakan satu-satunya sebab yang membuat pasien masih hidup.

Misalnya: Ada seorang yang menderita koma dalam jangka lama, di mana otaknya sudah tidak berfungsi atau sudah mati. Secara medis, orang ini sudah tidak mungkin sembuh dan jika dia hidup maka itu hanya akan menyiksa dirinya mengingat tubuhnya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dan satu-satunya alasan yang membuat dia masih hidup (tentunya setelah izin Allah) adalah adanya alat bantu pernafasan yang membuat dia masih bisa bernafas. Maka melihat kenyataan seperti itu, si dokter melepaskan alat bantu pernafasan tersebut sehingga akhirnya pasien meninggal karena sudah tidak bisa bernafas.

Hukum Euthanasia

A. Hukum Euthanasia Aktif (Positif)
Euthanasia aktif dengan semua bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar. Hal itu karena euthanasia aktif hakikatnya merupakan pembunuhan dengan sangaja. Dan pembunuhan dengan sengaja atau terencana adalah haram, apapun alasan yang melandasinya. Baik itu dengan alasan kasih sayang, permintaan si pasien sendiri, permintaan keluarga pasien, atau alasan lainnya yang jelas tidak diterima oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am: 151)

Dan kami rasa dalil-dalil akan haramnya pembunuhan dengan sengaja adalah hal yang sudah masyhur, karenanya tidak perlu disebutkan di sini.

Adapun jika itu atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah menanggung dosa yang sangat besar karena dia telah membunuh dirinya atau menyuruh orang lain membunuh dirinya. Sementara dokter dan pihak keluarga yang rela dengan hal itu semuanya mendapatkan dosa karena telah meridhai bahkan bekerja sama dalam perbuatan dosa. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa`: 29)

Ini hukumnya di akhirat. Adapun hukum pidana di dunia, maka hukumnya dikembalikan kepada keluarga si pasien. Dan dalam hal ini keluarga pasien mempunyai tiga pilihan:

a. Memaafkan si dokter dan membebaskannya dari semua tuntutan dan ganti rugi.

b. Meminta ganti rugi (diyat) kepada si dokter. Dan diyat untuk pembunuhan dengan sengaja adalah 100 ekor onta atau yang senilai dengannya berupa emas dan perak atau 1000 dinar atau 12.000 dirham menurut pendapat mayoritas ulama. Sementara 1 dinar setara dengan 4,25 gr emas.

c. Menuntut si dokter dengan hukuman mati (qishash). Hanya saja perlu diingatkan bahwa masalah qishash mempunyai beberapa hukum dan masalah tersendiri, yang rinciannya bisa dilihat dalam buku-buku fiqih.

Ketiga opsi ini terambil dari firman Allah Ta’ala yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al- Baqarah: 178)

B. Hukum Euthanasia Pasif (Negatif)
Jika kita memperhatikan praktik euthanasia pasif ini, maka kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya hakikat dari euthanasia pasif ini adalah tindakan menghentikan pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien.

Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum berobat itu sendiri. Apakah berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah? Jika kita katakan berobat hukumnya wajib, maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah haram. Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh. Dan jika kita katakan berobat itu hukumnya mubah (boleh), maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah. Dan telah kami jelaskan pada artikel sebelumnya bahwa berobat hukumnya adalah sunnah.

Kita kembali. Maka jika berobat hukumnya sunnah, maka berarti menghentikan pengobatan adalah hal yang mubah. Karenanya euthanasia pasif ini hukumnya adalah tidak diharamkan jika memang sudah dipastikan (atau dugaan besar) si pasien sudah tidak bisa sembuh dan hidupnya dia hanya akan menambah penderitaannya. Jika si dokter melakukannya maka insya Allah dia tidak mendapatkan hukuman di akhirat.

Hanya saja untuk pelaksanaan euthanasia pasif ini tetap disyaratkan harus adanya izin dari pasien, atau walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali atau washi, maka yang dimintai izin adalah pemerintah. Wallahu Ta’ala a’lam bishshawab.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/euthanasia-dalam-perspektif-islam.html

About Fadhl Ihsan

Silakan temukan saya di http://facebook.com/fadhl.ihsan

Posted on 21/12/2011, in Uncategorized and tagged , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar