Hukum Wanita Memperdengarkan Suaranya?

Tanya: Apakah suara wanita haram sehingga ia tidak boleh berbicara dengan pemilik warung/kios di pasar guna membeli kebutuhannya, walaupun tanpa membaguskan dan melembutkan suaranya? Begitu pula, dengan rasa malu ia mengajak bicara tukang jahit saat ia hendak menjahitkan pakaiannya?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ucapan wanita tidaklah haram dan bukan aurat. Akan tetapi, bila si wanita melunakkan suaranya dan melembutkannya, serta berucap dengan gaya bicara yang bisa membuat orang lain tergoda, itu baru haram. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan hingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit.” (Al-Ahzab: 32)

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengatakan, “Maka janganlah kalian berbicara dengan para lelaki.” Tetapi, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan, “Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan.”

Tunduk dalam ucapan lebih khusus daripada berbicara secara mutlak. [1]

Dengan demikian, tidak mengapa seorang wanita berucap kepada lelaki bila tidak menimbulkan fitnah. Dahulu ada wanita mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengajak bicara beliau, sementara orang-orang mendengar ucapan si wanita dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab ucapannya. Hal itu tidaklah dianggap sebagai kemungkaran.

Hanya saja, tidak boleh berduaan saat berbincang dengan seorang wanita, melainkan harus ditemani mahram si wanita dan tidak menimbulkan fitnah. Karena itulah, seorang lelaki tidak diperkenankan menikmati suara wanita, sama saja baik ia menikmatinya sebagai kesenangan yang biasa (karena kemerduan suaranya, misalnya, pen.) maupun karena kesenangan syahwat. Wallahul muwaffiq.” (Fatawa Manaril Islam, 3/835-836, dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hal. 688)

Tanya: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan hingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit.” (Al-Ahzab: 32)

Sementara diketahui, tabiat seorang remaja putri, ia merasa malu dan memerah wajahnya bila berbicara dengan lelaki mana pun. Apakah ini termasuk hal yang dilarang bila sampai suaranya berubah saat ia terpaksa berbicara?

Jawab:

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Pertama: Seorang wanita tidak boleh berbicara dengan lelaki yang bukan mahramnya (ajnabi) kecuali bila dibutuhkan dan dengan suara yang tidak membangkitkan syahwat lelaki. Juga si wanita tidak boleh memperluas pembicaraan dengan lelaki ajnabi melebihi kebutuhan.

Kedua: Melembutkan suara yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah melunakkan suara dan membaguskannya sehingga dapat membangkitkan fitnah. Oleh karena itu, seorang wanita tidak boleh mengajak bicara lelaki ajnabi dengan suara yang lembut. Ia tidak boleh pula berbicara dengan lelaki ajnabi sebagaimana berbicara dengan suaminya, karena hal tersebut dapat menggoda, menggerakkan syahwat, dan terkadang menyeret kepada perbuatan keji. Sementara itu, telah dimaklumi bahwa syariat yang penuh hikmah ini datang untuk menutup segala jalan/perantara yang mengantarkan kepada hal yang dilarang.

Adapun perubahan suara si wanita karena malu tidaklah termasuk melembutkan suara. Wallahu a’lam.” (Jaridah al-Muslimun no. 68, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hal. 689-690)

Footnote:

[1] Oleh karena itu, larangan tunduk dalam ucapan berbeda dengan larangan berbicara sama sekali. Sementara itu, yang dilarang dalam ayat ini adalah tunduk dalam ucapan, bukan larangan berbicara sama sekali. -pen.

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 61/VI/1431 H/2010, hal. 93-94.

About Fadhl Ihsan

Silakan temukan saya di http://facebook.com/fadhl.ihsan

Posted on 30/06/2010, in Uncategorized and tagged , , , . Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. Assalamu’alaikum.. Mohon Pendapatnya…

    Saya mempunyai Saudari Perempuan. begini ceritanya

    Saudari Perempuan saya tertarik ikut training, sementara pesertanya kebanyakan laki2 (mungkin bukan ikhwan).
    Saudari Perempuan saya sebagai fasilitatornya/pentraining, nah, pengen coba karna belum pernah jadi nyari pengalaman. tapi yang berat, pesertanya itu laki2.. apa gapapa ya? artinya pasti nanti ‘dipandang’ wajahnya

    mohon masukannya. seberapa urgennya ya pengalaman mentraining itu dibanding ‘dipandang’nya itu? terimakasih

Tinggalkan komentar