Apakah Hukum Ta’zir Itu?

Maksud ta’zir di dalam syariat adalah memberi pelajaran bagi orang yang berdosa yang tidak ada hukuman dan tidak ada kafarah (tentang dosa yang dilakukan)-nya.

Berkaitan dengan itu sesungguhnya maksiat ada tiga macam:

1. Jenis maksiat yang memiliki hukuman seperti zina dan mencuri. Hukuman adalah kafarah bagi pelakunya.

2. Jenis maksiat yang memiliki kafarah dan tidak ada hukumannya seperti bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan.

3. Jenis maksiat yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat atau syariat menentukan batasan hukuman bagi pelakunya tetapi syarat-syarat pelaksanaannya tidak diterangkan dengan sempurna, misalnya menyetubuhi wanita selain farjinya, mencuri sesuatu yang tidak mewajibkan penegakan hukuman potong tangan di dalamnya, wanita menyetubuhi wanita (lesbian) dan tuduhan selain zina, maka wajib ditegakkan ta’zir pada kasus-kasus itu, tersebut dalam hadits:

“Janganlah kamu mencambuk melebihi sepuluh kali cambukan kecuali dalam hukuman dari hukuman-hukuman Allah Azza wa Jalla.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Tersebut di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya berpendapat bolehnya melakukan ta’zir dengan membunuh, beliau rahimahullah menyatakan, “Merupakan bagian dari prinsip-prinsip madzhab Hanafy, sesungguhnya pelanggaran yang tidak memberikan konsekuensi hukuman bunuh seperti membunuh dengan batu timbangan dan seorang laki-laki yang melakukan perbuatan keji secara berulang-ulang, maka menurut mereka, seorang pemimpin (imam) berhak membunuh pelakunya, seperti itu pula dia berhak menambah hukuman melebihi batas yang telah ditentukan jika melihat adanya kebaikan (maslahat) di dalamnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bolehnya menta’zir dengan harta, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menta’zir dengan menahan harta rampasan perang dari orang yang berhak menerimanya, dikabarkan pula bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menta’zir orang yang tidak menunaikan zakat dengan mengambil separuh hartanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Nasa’i,

“Apa yang diberikan oleh seseorang karena mencari pahala maka dia mendapatkan pahalanya, dan barangsipa yang menahannya maka kami yang akan mengambilnya beserta separuh hartanya, hal itu sebagai salah satu kewajiban dari Rabb kami.”

Ta’zir dilakukan oleh seorang pemimpin (hakim), demikian pula bapak boleh melakukan terhadap anaknya, tuan terhadap budaknya dan suami terhadap istrinya -dengan syarat mereka tidak melakukannya dengan berlebih-lebihan. Dibolehkan menambah ta’zir untuk mencapai makrud (dalam memberi pelajaran) atas suatu kesalahan. Tetapi jika menambah ta’zir bukan untuk tujuan ini, berarti dia telah melampaui batas dan menimpakan hukuman yang menyebabkan binasanya seseorang.

Ibnu Rajab rahimahullah menyampaikan pernyataan penting sehubungan dengan apa yang sedang kita bahas. Beliau rahimahullah berkata, “Disebutkan dalam riwayat Muslim,

“Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang mewajibkan ditegakkannya hukuman, kemudian hukuman itu ditegakkan atasnya, maka itu menjadi kafarah baginya.”

Ini menunjukkan bahwa hukuman-hukuman itu merupakan kafarah. Sya’by rahimahullah berkata, ‘Tidaklah saya mendengar tentang permasalahan ini -bahwa hukuman itu menjadi kafarah bagi pelakunya- yang lebih baik dari hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu.’ Juga perkataannya: Maka mereka dihukum dengan hukuman-hukuman yang syar’i yaitu hukuman-hukuman yang telah ditetapkan ketentuannya atau tidak ditetapkan -seperti ta’zir- serta mencakup hukuman-hukuman taqdir seperti berbagai musibah dan penyakit. Telah ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Tidaklah seorang muslim tertimpa penyakit, musibah, kecemasan dan kesedihan sampaipun sebuah duri yang menusuknya kecuali dengan sebab itu Allah Azza wa Jalla menghapuskan kesalahan-kesalahannya.”

Telah diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu bahwa hukuman itu menjadi kafarat bagi orang yang telah diberi hukuman. Ibnu Jarir rahimahullah menyebutkan perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah ini, namun beliau rahimahullah menguatkan bahwa semata-mata dengan ditegakkan hukuman (atas pelaku dosa) maka hal itu merupakan kafarah baginya, beliau rahimahullah sangat melemahkan pendapat yang menyelisihi hal itu.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Kafarah Penghapus Dosa oleh Sa’id Abdul ‘Adhim (penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi), penerbit: Cahaya Tauhid Press, Malang. Hal. 73-76.

About Fadhl Ihsan

Silakan temukan saya di http://facebook.com/fadhl.ihsan

Posted on 16/07/2010, in Uncategorized and tagged , . Bookmark the permalink. 8 Komentar.

  1. emang hukum tazir itu wajib di laksanakan yaaaa seperti halnya hukuman
    yang termasuk kafarat
    lalu bagaimana dengan orang yang terkena hukuman tazir di dunia karena di wilayahnya tidak menerapkan hukum tersebut ?….. apakah wajib menyerahkan diri bagi yang tekena hukum tazir untuk menyerahkan diri apabila hukum tersebut sudah tegak di wilayahnya ?…

    • Barakallahu fiik. Bila seseorang terjatuh dalam kemaksiatan yg karenanya dia berhak mendapat hukuman ta’zir sementara hukum syariat belum tegak di negerinya, maka itu udzur baginya dan ia terlepas dari hukum tersebut. Ia hanya diwajibkan untuk beristighfar dan bersungguh2 bertaubat dan memperbaiki dirinya dgn memperbanyak amalan shalih.

      Lantas bagaimana bila hukum syariat telah tegak, apakah ia berkewajiban menyerahkan diri kepada hakim/aparat berwenang agar ia mendapatkan hukuman tsb? Dlm masalah ini disukainya bagi seseorang utk menutupi aibnya, sehingga urusannya hanya dia dgn Allah saja. Artinya dia tdk berkewajiban utk melaporkan kemaksiatan yg diperbuatnya kpd hakim, terlebih lagi bila ia dikenal sbg orang baik2 maka menutupi aibnya lebih utama. Namun bila perkara tsb telah sampai ke meja hakim maka ia tdk bisa mengelak/membatalkan hukuman tsb terhadapnya. Wallahu a’lam bish-shawab.

  2. klo misalkan cuman ciuman atau memegang dada apakah itu terkena hukum tazir ?… lalu apakah boleh di lakukan hukum cambuk misalkan 20 x oleh orang lain di tempat tertutup … dibanding di akhirat kelak karena di negara kita lagi tidak menegakkan nya maka kita tegakkan sendiri tp misalkan 20 sampai 30 x

  3. hukuman ta’zir itu boleh ya dilakukan sesuai dengan kemauan kita dan sesuai dengan dosa yang dia lakukan,, saya masih kurang mengerti?

  4. ahmad sodikun

    saya sering melakukan onani,dan saya telah bersumpah tdk melakukanya lagi tpi sya trkadang msh mlakukan..apakah d0sa

    • mas Ahmad wajib menebus kafarah dari sumpah yaitu:

      1. memberi makan 10 orang miskin
      2. memberi pakaian 10 orang miskin
      3. membebaskan budak

      Boleh memilih salah satu dari tiga point kaffarah (tebusan) di atas. Jika tidak mampu, maka berpuasa 3 hari tanpa harus berurutan.

      Allah ta’ala berfirman: “maka kaffarahnya (tebusan-pen) adalah memberi makan 10 orang miskin dari makanan pertengahan yang biasa diberikan pada keluargamu, atau memberi pakaian mereka (10 orang miskin-pen), atau membebaskan budak. Barangsiapa yang tidak mendapati ketiganya, hendaknya berpuasa tiga hari. Itulah kaffarah sumpah kalian apabila kalian telah bersumpah” [Al-Maidah: 89]

      wabillahittaufiq

Tinggalkan komentar