Jenis-jenis Hadiah dan Hukum yang Menyertainya

Ada bermacam-macam jenis hadiah, di antaranya ada yang disyariatkan, ada yang disunnahkan, serta ada yang diharamkan. Para ulama telah menyebutkan ketentuan-ketentuan yang syar’i untuk sebagian jenis hadiah tersebut, dan kami akan menyebutkannya dengan ringkas pada pembahasan berikut ini:

1. Hadiah Orang yang Lebih Tinggi dan yang Sederajat

Yang dimaksud dengan hadiah tersebut adalah hadiah yang diberikan oleh pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah dalam hal kedudukan, jabatan, dan hartanya, dari orang dewasa kepada anak kecil, dari seorang pengajar kepada muridnya, atau dari seorang syaikh kepada penuntut ilmu. Dan di dalamnya ada wujud pemuliaan, kecintaan, dan silaturrahmi. Dan dimaksudkan dengannya untuk menyatukan hati, mempererat persahabatan, dan kecintaan, menyemangati anak kecil, murid, penuntut ilmu, dan selain mereka. Terkadang jenis hadiah ini dibarengi dengan momen-momen keagamaan seperti dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), pernikahan, kelahiran, khitanan, kelulusan, kenaikan kelas, bepergian dan kembali dari perjalanan. Hadiah pada semua keadaan ini disunnahkan secara syar’i apabila dilakukan untuk mengharapkan wajah Allah Ta’ala, dan apabila tidak ada di dalamnya larangan syar’i seperti: menyerupai orang-orang musyrik pada jenis hadiahnya.

2. Hadiah Kedua Orang Tua kepada Anaknya

Ia termasuk dari hadiah-hadiah yang bisa menanamkan rasa cinta pada jiwa anak-anak, akan tetapi hadiah tersebut harus diberikan secara adil di antara mereka kecuali apabila di sana ada faktor atau perkara yang mengharurkan pengutamaan atau pengkhususan maka ini tidaklah mengapa. Seperti salah seorang dari mereka sakit atau buta, atau ia memiliki keluarga, seorang penuntut ilmu, ingin menikah, anak yang paling besar berserikat dalam usaha dan pendidikan saudara-saudaranya. Juga apabila ingin membayar hutang kepada salah satu dari anak-anaknya, atau yang semisal itu dari faktor-faktor dan sebab-sebab yang ada. Adapun apabila tidak didapati faktor-faktor pengutamaan maka yang wajib adalah berbuat adil dan sama rata di dalam pemberian kepada mereka. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama dan mazhab Imam Ahmad, Al Bukhari, Ishaq, Ats Tsauri, Daud, Ibnu Taimiyah dan selain mereka.

Mereka berdalil dengan hadits Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu bahwa bapaknya membawanya pergi menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu dia berkata, “Sesungguhnya aku telah memberikan kepada anakku ini seorang budak.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah semua anakmu kamu berikan juga yang semisalnya?” Dia menjawab, “Tidak.” “Maka mintakan kembali pemberian tersebut.” (kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -pent.) (HR. Al Bukhari, 2586)

Dalam suatu riwayat, beliau bersabda, “Jangan kamu jadikan aku sebagai saksi atas suatu kezhaliman.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Silakan rujuk perbedaan pendapat dalam masalah ini di dalam Fathul Bari (5/215). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Hadits dan atsar-atsar menunjukkan wajibnya berbuat adil… Kemudian di sini ada dua macam:

Yang pertama, macam di mana mereka (anak-anak) butuh kepada pemberian tersebut yang berupa nafkah dalam hal kesehatan dan yang semisal itu. Maka bersikap adil di dalamnya adalah memberikan kepada masing-masing anak apa yang dia butuhkan di dalamnya…. (Disebutkan oleh beliau dalam Al Ikhtiyaraat Al Fiqhiyah)

Dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tentang penyamaan pemberian di antara anak dikarenakan hadits,

“Berlaku sama rata-lah kepada anak-anak kalian dalam hal pemberian.” (Dihasankan oleh Ibnu Hajar, 5/114)

Dan tidak dibedakan antara bapak dan ibu tentang bolehnya meminta kembali hadiah yang telah diberikan kepada anak dikarenakan hadits Nu’man bin Basyir yang telah lalu dan hadits,

“Tidak boleh seorangpun meminta kembali hibahnya kecuali orang tua kepada anaknya….” (HR. Muslim, An Nasa’i, Al Baihaqi, Shahihul Jami’ Ash Shaghir, 7686)

3. Hadiah Lamaran

Ini merupakan hadiah yang diberikan oleh salah satu mempelai kepada pasangannya setelah akad untuk hidup bersama dan sebelum hubungan suami istri (sebelum dilakukannya jima’ -pent).

Hadiah-hadiah ini terkadang bisa berbentuk perkara-perkara yang mudah habis dari benda yang dimakan, dipakai, atau dipergunakan. Dan jenis hadiah seperti ini tidak dikembalikan, tidak diminta nilainya, atau diganti ketika terjadi perceraian di antara keduanya.

Adapun apabila hadiah tersebut berupa hadiah lamaran atau sebagian benda-benda yang berharga, bukan yang cepat habis, maka ia dikembalikan bersama mahar secara utuh kepada suami ketika sang istri atau walinya tidak mau menyempurnakan hubungan pernikahan tersebut. Dan suami tidak mempunyai hak meminta kembali hadiah dan hibah yang telah diperuntukkan kepada si istri apabila ketidaksempurnaan pernikahan tersebut kembalinya kepada sang suami dan dia adalah penyebab di dalamnya.

Di dalam mazhab-mazhab fiqh ada rincian yang luas. Dan pada semua keadaan tersebut haruslah memperhatikan kebiasaan yang ada di antara mereka dan kaidah “Sesuatu yang dianggap baik secara ‘urf (kebiasaan) sama hukumnya dengan sesuatu yang dipersyaratkan di dalam syarat.”

4. Hadiah untuk Menyelesaikan Hajat yang Mubah (Hadiah untuk Mendapatkan Syafa’at)

Syafa’at di sini maknanya adalah perantaraan atau campur tangan dengan menggunakan kedudukan untuk mencari wajah Allah Ta’ala. Dan ia diperbolehkan pada selain hukum-hukum had (hukum-hukum yang kadarnya telah ditetapkan oleh syariat seperti potong tangan, qishash, rajam -pent.) yang telah sampai kepada hakim. Dan tidak diragukan lagi kebolehannya karena sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Barangsiapa dari kalian yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, hendaknya ia lakukan.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Al Baihaqi, dari Jabir. Shahihul Jami’, 6019)

Dan beliau juga bersabda,

“Berilah syafa’at niscaya kalian akan mendapatkan pahala.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya.” (An Nisa’: 85)

“Nashiibun” yaitu bagian yang baik. “Kiflun” yaitu dosa.

Dan selayaknya bagi seseorang yang diberikan taufik oleh Allah Ta’ala untuk memutuskan kebutuhan-kebutuhan manusia agar tidak menerima pemuliaan sebagai balasan syafa’atnya. Dan tidak sepatutnya meminta bantuan dengan beragam hadiah untuk menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan dan untuk memudahkan perkara-perkara yang penting, sehingga terhentinya perkara-perkara tersebut hanya tergantung pada semua itu, dan hilangnya harga diri, akhlak, di hadapan manusia dan jadilah hubungan muamalah di kalangan mereka dibangun di atas dasar materi belaka.

Apabila sang pemberi syafa’at memberi persyaratan, maka hal tersebut diperbolehkan, kalau tidak demikian, maka hal itu haram karena ini sebagai imbal balas dari kedudukannya. Dan apabila sang pemberi syafa’at tidak mensyaratkan untuk diberikan sesuatu kepadanya dan orang yang diberikan syafaat itu bisa mengambil manfaat dengan syafaat tersebut dan orang yang diberi syafaat tersebut ingin memberikan hadiah kepadanya, maka yang afdhal adalah dia tidak mengambilnya, tapi kalau ia mengambil hadiah tersebut, maka boleh baginya untuk mengambil hadiah tersebut.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Barangsiapa menolong orang lain untuk mendapatkan sebuah hak atau menolak kezhaliman darinya dan dia (pemberi syafa’at) tersebut tidak mempersyaratkan adanya imbalan dari orang yang akan ditolong, lalu orang yang ditolong tadi memberikan hadiah kepadanya sebagai balas budi, maka ini adalah perbuatan baik yang kami tidak memakruhkannya dikarenakan ia termasuk bentuk terima kasih kepada orang yang memberikan nikmat dan termasuk hadiah yang diberikan dengan sukarela. Dan kami tidak mengetahui adanya ayat Al Qur’an dan As Sunnah yang melarang demikian itu.” (Al Muhalla 9/158, masalah nomor 1637)

5. Hadiah untuk Mendapatkan Manfaat, Kedudukan dan Jabatan

Hadiah ini diberikan untuk mendekatkan hati dan mendapatkan kecintaan dari orang yang diberikan hadiah tersebut, bukan karena kecintaan yang hakiki akan tetapi untuk mendapatkan kemanfaatan dengan kedudukan, kekuasaan dan posisinya di sisi orang lain sehingga dengan itu dia bisa mencapai tujuan-tujuannya.

Hadiah ini mirip dengan suap-menyuap dan haram mengambilnya. Maka jika kedudukan tersebut berupa kekuasaan kehakiman, pekerjaan, hukum, kepemimpinan, atau jabatan, maka ini suap-menyauap yang diberi label “hadiah”. Mengambil hadiah tersebut diharamkan, sebagaimana diharamkan pula memberikannya.

Perbedaan antara jenis ini dan yang sebelumnya (poin keempat, pent), bahwa yang pertama tadi adalah hadiah yang diperuntukkan untuk mengerjakan amalan yang mubah, adapun jenis ini, maka lebih umum daripada yang sebelumnya, terkadang yang dimaksudkan dengannya adalah membantu kezhaliman, perkara yang haram, perkara yang dia tidak berhak untuk mendapatkannya, atau selain itu. Inilah yang dinamakan suap-menyuap yang diharamkan itu sendiri.

6. Hadiah untuk Mendapatkan Hak atau Menolak Kezhaliman

Yang demikian itu disebabkan adanya udzur atas seorang muslim untuk sampai kepada haknya atau menolak kejelekan yang akan menimpanya, lalu dia menyerahkan hadiah kepada orang yang memiliki kemampuan tersebut untuk merealisasikan tujuannya. Adapun haramnya hadiah pada keadaan ini tertuju bagi orang yang mengambilnya, maka ia merupakan perkara yang tidak diragukan lagi tentang keharamannya dan merupakan perkara yang disepakati keharamannya.

Adapun dilihat kepada orang yang memberi, maka ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan jumhur membolehkan hal tersebut. Dan yang rajih tidak diperbolehkan karena keumuman hadits,

“Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap di dalam hukum.” (HR. Muslim, At Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Shahihul Jami’ 5093)

Atas dasar ini hadiah dengan model seperti ini diharamkan atas kedua belah pihak sebagaimana dikatakan oleh Al Imam Asy Syaukani dan yang selain beliau.

7. Hadiah untuk Melegalkan Kebatilan atau Membatalkan Kebenaran

Ia memberikan hadiah tersebut agar fakta yang ada diputarbalikkan dan perkara yang ada dimanipulasi. Hadiah ini diharamkan juga atas kedua belah pihak dan merupakan suap-menyuap itu sendiri yang diharamkan dengan kesepakatan para ulama, karena tujuannya adalah melegalkan perkara yang haram atau berbuat zhalim kepada seseorang, mengambil apa-apa yang bukan menjadi haknya, atau tindakan selain itu.

8. Hadiah Hakim

Kehakiman merupakan penyebar keadilan di antara manusia. Maka tidak sepantasnya ada faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan seorang hakim lalu menjadikannya berhukum dengan selain apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan. Dan dengan mempelajari pendapat-pendapat para ulama tentang hadiah untuk seorang hakim, menjadi jelaslah di sana ada dua pendapat yang paling mendasar:

1. Terlarang secara mutlak dalam bentuk pengharaman menurut sebagian ulama.

2. Hukumnya dirinci sebagai berikut:

Pertama: Hadiah yang diberikan kepada hakim tersebut datangnya dari orang yang terkait dengan suatu pertikaian atau permasalahan, maka hadiah seperti ini diharamkan, sama saja apakah di antara keduanya telah saling memberi hadiah sebelumnya, ataukah di antara keduanya ada hubungan kekerabatan, persahabatan atau selain dari itu.

Kedua: Hadiah yang diberikan kepada hakim tersebut datangnya dari pihak yang tidak terkait sama sekali dengan suatu pertikaian baik yang sedang diproses ataukah yang sedang menuju proses hukum. Jika di antaranya telah saling memberi hadiah dan datangnya hadiah diperuntukkan untuk membalas budi atas hadiah yang telah diterima, maka diperbolehkan juga dan masuk ke dalam kategori ini: hadiah-hadiah yang berasal dari kedua orang tua, istri, anak-anak, sanak kerabat, dan para sahabat, apabila tidak ada permusuhan, permasalahan, atau maslahat yang terkait dengan orang yang memberikan hadiah tersebut dari kalangan mereka.

CATATAN PENTING:

Di dalam makna hadiah tersebut ada dakwaan yang khusus atau yang umum dari salah satu pihak yang bertikai atau dari orang yang memiliki kepentingan yang ingin dia peroleh dari sang hakim.

Al Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata, “Hendaknya seorang hakim yang benar-benar menjaga agamanya yang menyiapkan diri menghadap Rabb-nya untuk berhati-hati dari menerima hadiah orang yang memberi hadiah kepadanya setelah ia menduduki jabatan kehakiman. Maka sesungguhnya perbuatan baik itu memengaruhi tabiat seorang insan. Terkadang jiwanya condong kepada orang yang memberikan hadiah tersebut, dengan kecondongan yang bisa memalingkannya dari kebenaran ketika dihadapkan dengan pertikaian yang terjadi di antara orang yang memberi hadiah dengan orang lain dalam keadaan sang hakim tidak menyadarinya.” (Nailul Authar, 9/173)

MASALAH:

Apabila seorang hakim mengambil hadiah yang haram, maka dikemanakan hadiah tersebut?

Sebagian ulama berpendapat bahwa hadiah tersebut diletakkan di baitul maal. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa si hakim mengembalikan hadiah tersebut kepada si pemberi hadiah jika dia mengetahuinya. Apabila pengembalian hadiah tersebut menimbulkan gangguan atau bahaya yang lebih besar, maka dikembalikan ke baitul maal.

9. Hadiah bagi Wali atau Amir (Pengurus) dan Aparat Kehakiman

Yang dimaksud dengan wali atau amir adalah seorang yang diserahi tugas oleh hakim untuk memimpin negeri yang menjadi daerah kekuasaannya untuk segenap penduduknya. Orang-orang yang masuk kategori mereka seperti: para menteri, walikota, dan yang selain mereka.

Sungguh Islam telah mengharamkan jenis hadiah seperti ini dan menamakannya dengan “ghulul (pengkhianatan)” dikarenakan hadiah itu diberikan karena ia memiliki daerah kekuasaan. Ini adalah suap-menyuap, sedangkan suap-menyuap itu merupakan pengkhianatan. Setiap orang yang berkhianat dalam suatu perkara maka sungguh dia telah berbuat ghulul. Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (Ali Imran: 161)

Hanya saja hadiah tersebut dikatakan khianat dikarenakan pada hakekatnya hadiah itu diperuntukkan untuk jamaah kaum muslimin. Maka tidaklah hadiah tersebut dikhususkan dengan tanpa selain mereka.

Mereka ini adalah para aparatur dan pegawai pemerintahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Hadiah para pegawai itu merupakan ghulul (pengkhianatan).” (HR. Ahmad, Al Baihaqi, dan terdapat dalam Shahihul Jami’, 6898)

Dan yang namanya amil adalah setiap pegawai yang ditugasi untuk melaksanakan perkara yang penting atau mengerjakan pelayanan umum.

Di dalam Ash Shahihain, dari Abu Humaid, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengangkat seorang pegawai untuk memungut shadaqahnya Bani Sulaim. Si pegawai ini bernama Ibnu Lutbiyah. Tatkala dia datang, ia menghitung harta tersebut sembari berkata, “Ini harta kalian dan ini hadiah untukku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu sampai hadiah itu datang kepadamu jika kamu orang yang jujur?!” Lalu beliau bersabda, “Demi Allah, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil suatu yang bukan menjadi haknya melainkan ia berjumpa dengan Allah pada hari kiamat nanti dalam keadaan membawanya.” (Fathul Bari, 12/348)

Dari masalah-masalah yang telah lewat, menjadi jelas bagi kita bahwa pendapat yang benar adalah haramnya seorang wali dan orang-orang yang sekedudukan dengannya untuk menerima hadiah, terlebih lagi bila dikhawatirkan disertai adanya kecondongan jiwa dan tuduhan jelek yang menyertai pemberian hadiah karena sebuah kekuasaan, bukan karena sebab yang khusus, seperti keluarga, teman pergaulan yang merupakan kebiasaan mereka adalah memberi hadiah kepadanya sebelum ia menduduki jabatan tersebut.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Dan apa-apa yang dihadiahkan kerabat dan handai taulan kepadanya di mana sebelumnya telah ada kebiasaan saling memberi hadiah sebelum dia menduduki kekuasaan itu, maka meninggalkan hal ini lebih disukai, namun tidak mengapa dia menerima dan menyimpannya.” (Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Haitami (w. 974 H) dalam kitab beliau Idhahul Ahkam li ma Ya’khudzul ‘Ummal wal Hukkam halaman 49)

Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang mengurusi sesuatu dari urusannya penguasa, aku tidak perbolehkan baginya menerima sedikit pun, secara khusus, bila dia adalah seorang hakim, maka aku tidak suka dia melakukan hal yang demikian itu kecuali seorang yang memiliki hubungan persahabatan dengannya atau hubungan yang dia jalin sebelum dia menjadi wali.”

MASALAH:

Apabila seorang wali (pejabat pemerintah) dan yang segolongan dengannya mengambil hadiah dengan sebab jabatannya, maka ia berikan hadiah tersebut ke baitul mal di mana hadiah itu bisa diambil manfaatnya untuk kemaslahatan umum.

10. Hadiah Mufti (Pemberi Fatwa

Seorang mufti digolongkan sebagai pegawai umum, secara khusus pada masa sekarang ini. Apabila hadiah yang diberikan kepada mufti tersebut dikarenakan melihat ilmu, keshalihan, dan takwanya dengan tujuan mencintainya karena Allah, maka hukum hadiah tersebut diperbolehkan apabila niatnya jujur. Dan orang yang memberi hadiah itu termasuk dari teman, sahabat, keluarga, atau dari orang-orang yang biasa memberikan hadiah sebelum ia menduduki jabatan tersebut.

Adapun apabila hadiah tersebut mempengaruhi fatwa, maka tidak diragukan lagi bahwasanya diharamkan bagi kedua belah pihak dikarenakan padanya ada persyaratan untuk memperoleh bantuan dan hadiah yang dipersyaratkan dengan bentuk untuk memperoleh bantuan hukumnya tidak boleh. Hadiah ini juga dihukumi sebagai suap-menyuap apabila fatwa tersebut sesuai dengan yang diinginkan oleh sang pemberi hadiah atau mufti tersebut mendapatkan manfaat berupa harta, kedudukan, di sisi sang pemberi hadiah, atau sang pemberi hadiah memiliki konflik di sisi mufti.

11. Hadiah Seorang Guru

Urusan seorang guru dalam hal tidak bolehnya menerima hadiah sebagai imbalan terhadap pelaksanaan tugasnya sama halnya dengan perkara semua pegawai. Apabila hadiah tersebut termasuk bagian dari bab kecintaan, kasih sayang, dan untuk mendekatkan diri kepadanya dikarenakan ilmu dan keshalihannya, maka boleh menerimanya. Dan demikian pula bolehnya menerima hadiah itu dari orang-orang yang kebiasaan mereka adalah saling memberi hadiah seperti kerabat, handai taulan, dan teman karib.

Apabila hadiah itu datang dari murid-murid sekolah tempat dia mengajar, atau datang dari wali murid, maka tidak diperbolehkan karena hadiah tersebut akan menyebabkan sikap pilih kasih kepada siswa yang bersangkutan, membantunya di dalam ujian, atau menambahkan nilainya. Inilah namanya suap-menyuap itu sendiri.

12. Hadiah bagi Muazzhaful ‘Am (Pegawai Umum)

Al Muazzhaf (pegawai) adalah setiap orang yang dibebani dengan suatu tugas penting atau pelayanan umum dan semisalnya yang sifatnya berkelanjutan atau dalam jangka waktu tertentu baik di dalam bidang kenegaraan atau kemaslahatan yang menyertainya, komite-komite umum, perusahaan-perusahaan, dan yayasan-yayasan yang bersifat umum dan khusus. Lafazh Muazzhaful ‘Am berdasarkan istilah fiqh diistilahkan dengan ‘amil’. Adapun amil adalah setiap orang yang mengurusi suatu perkara dari perkara-perkara kaum muslimin, dan amil mencakup orang-orang yang memiliki jabatan-jabatan umum yang diserahi kepada masing-masing mereka untuk melaksanakan amalan apa saja yang di antara tugas-tugasnya mampu mendatangkan kemanfaatan atau kemudharatan pada orang lain.

Sungguh Islam telah mengharamkan hadiah-hadiah bagi para pegawai dan orang-orang yang masuk kategori mereka, dan Islam menamakan hadiah tersebut dengan suap-menyuap, dan terkadang Islam menamakannya dengan ghulul. Telah lewat bersama kita hadits Ibnu Lutbiyah di dalam Ash Shahihai bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkatnya sebagai pegawai untuk memungut harta shadaqah, lalu dia berkata, “Ini harta kalian dan ini hadiah untukku.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu sampai hadiah itu datang kepadamu….”

Lalu beliau bersabda,

“Demi Allah, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil suatu yan bukan menjadi haknya melainkan ia berjumpa dengan Allah pada hari kiamat nati dalam keadaan membawanya….” (HR. Al Bukhari, 6979)

Dan dari Abu Humaid As Saidi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Hadiah para pegawai itu merupakan ghulul (pengkhianatan).” (HR. Ahmad, Al Baihaqi, dan terdapat dalam Shahihul Jami’ [6898], dan Ibnu Majah)

Dan Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.” (Ali Imran: 161)

KESIMPULANNYA:

Bahwa setiap hadiah yang terkait dengan suatu tugas tertentu dimana seandainya sang pegawai tersebut dicopot jabatannya niscaya dia tidak akan diberikan hadiah tersebut, maka hadiah ini merupakan suap-menyuap yang tidak diperbolehkan walaupun hanya sekedar undangan makan atau basa-basi padanya. Adapun jika hadiah itu diberikan kepada sang pegawai yang datangnya dari orang-orang yang telah biasa saling memberi hadiah di antara mereka, seperti kerabat, handai taulan, teman karib, dan diinginkan dengan hadiah tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menguatkan kecintaan dan kasih sayang, maka diperbolehkan.

13. Hadiah Orang-orang Musyrik (non muslim))

Pada asalnya, diperbolehkan menerima hadiah dari orang-orang musyrik dan memberikan hadiah kepada mereka, apabila bukan merupakan suap menyuap di dalam perkara agama, untuk melegalkan sebuah kebatilan, atau merupakan sebab untuk mengokohkan orang musyrik ini dalam melawan kaum muslimin sehingga ia dapat mengganggu mereka. Maka ketika itu hadiah tersebut tidak diperbolehkan. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menerima hadiah dari kaum musyrikin. Di dalam Ash Shahihain dari Abu Humaid, beliau berkata,

“Kami berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Tabuk dan seorang raja dari suku Arab menghadiahkan beliau seekor bighal (peranakan kuda dengan keledai) betina yang berwarna putih. Dia juga memberikan kain burdah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al Bukhari [3161] dan Muslim [1392])

Dan demikian pula di dalam Ash Shahihain, bahwa ada seorang perempuan Yahudi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa daging kambing yang telah dilumuri racun, lalu beliau pun makan daging itu. (HR. Al Bukhari [2617] dan Muslim [2195])

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menerima hadiah dari Al Mauqauqis berupa seorang budak wanita bernama Mariyah radhiyallahu ‘anha, ibu dari Ibrahim (putra Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Oleh karena itulah Imam Al Bukhari membuat bab di dalam Shahihnya dengan judul, “Bab Menerima Hadiah dari Kaum Musyrikin”. (Fathul Bari [5/231], hadits nomor 2618)

Pembolehan ini terkait dengan hadiah orang-orang musyrik yang masih melakukan perdamaian yang tidak memerangi Islam dan kaum muslimin. Apabila hadiah tersebut dalam rangka persahabatan dan tidak diiringi dengan tuntutan atau untuk melunakkan hati mereka agar mau masuk Islam. Adapun seorang musyrik yang memerangi agama Allah, maka tidak boleh menerima dan memberikan hadiah kepadanya. Dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Sesungguhnya aku tidaklah menerima hadiah seorang musyrik.” (HR. Ath Thabrani, dan terdapat di dalam Shahihul Jami’ [2514])

Beliau juga bersabda,

“Sesungguhnya aku dilarang dari menerima pemberian kaum musyrikin.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzi, dan terdapat di dalam Shahihul Jami’ [2505])

Beliau juga bersabda,

“Kami tidak akan menerima sedikitpun dari kaum musyrikin.” (HR. Ahmad, Al Hakim, dan terdapat di dalam Shahihul Jami’ [2294])

Dan di dalam permasalahan ini ada enam pendapat, dan pendapat yang saya kemukakan inilah yang paling kuat. Wallahu a’lam. Silakan merujuk Fathul Bari [5/231], Nailul Authar [6/108] dan Al Mughni [8/9495]).

Demikian juga tidak diperbolehkan menerima hadiah kaum musyrikin dengan sebab perayaan-perayaan mereka menurut jumhur ulama, dikarenakan hal ini merupakan pengagungan terhadap hari raya mereka dan membantu mereka di atas kekufuran, demikian juga tidak diperbolehkan menerima hadiah-hadiah mereka dengan sebab perayaan-perayaan mereka, dikarenakan hal itu merupakan persetujuan terhadap perayaan tersebut dan adanya tolong-menolong di atas kekufuran.

Sumber: Menebar Cinta dengan Hadiah karya Ibrahim bin Abdillah Al Mazru’i (penerjemah: Ibnu Musa Al Bankawy), penerbit: Al Husna, Jogyakarta. Hal. 53-79.

About Fadhl Ihsan

Silakan temukan saya di http://facebook.com/fadhl.ihsan

Posted on 08/09/2010, in Uncategorized and tagged , , . Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. pak ustadz mbah yai tau syekh mu nanya nieh.
    bicara tentang idul fitri tau lebaran tau hari penuh hikmah biasanya kta saling silaturohmi maaf maafan, kumpul yang muda dateng ke tempat yang lebih tua untuk minta maaf.

    nah gini pak ustadz, mbah yai dan syekh
    klo kita dateng ke tempat orang yang lebih tua seperti ayah kakek paman pakde dan lain sebagainya biasanya dan kebanyakan mereka datan pertama niat’a bukan untuk minta maaf tau silaturohmi tpi mengharapkan buah tangan, hadian, thr, nek jare w0ng j0w0 njalok sangune.trus dia lupa akan arti silaturohmi sebenarnya, itu hadiah yg kta dapatkan hukum’y apa, ada dalil’y gak, apakah dosa2 kita thn2 lalu akan d hapuskan di hari raya itu?

  2. insyaallah hadiah yang mas ade terima dari karib kerabat hukumnya halal. Baca artikel di atas, hadiah yang mas tanyakan termasuk point 1 atau point 2. coba kalo mas ade kemaren niatnya ikhlas, dapet pahala silaturrahim dan dapet hadiah juga kan.. orang yang hatinya ikhlas nggak akan rugi..

Tinggalkan komentar