Tanya Jawab Seputar Onani dan Masturbasi

Berikut ini kami nukilkan tulisan Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al-Makassari yang membahas seputar onani/masturbasi dalam format tanya jawab. Pembahasan ini meliputi: hukum onani, hukuman bagi pelakunya, terapi untuk menghilangkan kebiasaan jelek tersebut serta hukum onani berkaitan dengan puasa. Selamat menikmati semoga bermanfaat.

HUKUM ONANI

Pertanyaan: Apa hukum onani/masturbasi bagi pria dan wanita?

Jawaban:

Permasalahan onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:

1. Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri bu budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [1] Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam.

2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, dan pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullah. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-‘Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampau batas.” (Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)

Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan suami istri atau tuan dan budak wanitanya.

Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berdalilkan dengan hadits ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”

Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami istri jika sudah berkeluarga, wallahul musta’an. [2]

Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:

سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ

“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi)…dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah] hafalannya)

Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi di mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaaan atau khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada khilaf pendapat dalam memandang masalah ini.

Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di atas.

Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad rahimahullah memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap sebagai kondisi darurat. [3] Namun nampaknya pendapat ini harus diberi persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah (hal. 420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:

فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”

Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani, tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”

Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhalla (no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal bertentangan dengan kemuliaan akhlak dan keutamaan.

Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya sebagai adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.” Wallahu a’lam.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing para pemuda dan pemudi umat ini untuk menjaga diri mereka dari hal-hal yang haram dan hina serta merusak akhlak dan kemuliaan mereka. Amin.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

HUKUMAN BAGI PELAKU ONANI/MASTURBASI

Pertanyaan: Apakah pelaku onani/martubasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?

Jawaban:

Penetapan kadar dan sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku maksiat, apakah sifatnya dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan zina merupakan dosa besar yang pelakunya terkena hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Adapun masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak wanita yang dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah pendapat yang menyatakan haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7 dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-31 dari surat Al-Ma’arij. Onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang haram, karena melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan dengan budak wanitanya. Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan bahwa onani adalah dosa besar merupakan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antaranya:

سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: … وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ

“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk ke dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan onani/masturbasi) …dst.”

Sifat onani yang paling parah dan tidak ada seorangpun yang menghalalkannya adalah seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk mengingat-ingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad rahimahullah mengharamkannya, demikian pula selain beliau. Bahkan sebagian ulama mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.”

Penetapan hukum hadd dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian ulama yang mengqiyaskannya dengan zina. Namun tentu saja berbeda antara onani dengan zina sehingga tidak bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan kepala dzakar ke dalam farji wanita yang tidak halal baginya (selain istri dan budak wanita yang dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah pelakunya hanya sebatas diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar berhenti dari perbuatan maksiat tersebut. Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah, dibenarkan oleh Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).

Adapun bentuk hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk (tidak lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan, atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera dari maksiat itu dan bertaubat. [4] Wallahu a’lam.

Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan, maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.

MENGHILANGKAN KEBIASAAN ONANI

Pertanyaan: Assalamu’alaikum. Saya seorang remaja muslim yang terjebak kebiasaan buruk onani. Saya tahu hal itu tersebut adalah kesalahan dan saya ingin menghentikannya tapi saya belum mampu. Tolong berikan saya nasehat bagaimana cara menghentikannya. Dan tolonglah beritahu saya apa akibat buruk onani bagi kesehatan dan dampaknya pada hubungan suami istri setelah menikah. Karena ada beberapa kalangan termasuk ahli kedokteran yang menganggap perbuatan onani adalah normal, padahal yang saya tahu apa yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dikerjakan manusia adalah agar mereka menjauhinya, tidak mengerjakannya untuk kepentingan (kemanfaatan) manusia sendiri.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah. Benar apa yang anda katakan bahwa apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-hamba-Nya adalah demi kepentingan dan maslahat manusia sendiri. Tidaklah seorang hamba mengerjakan sesuatu yang haram kecuali pasti membahayakan dirinya sendiri. Di antara perbuatan haram yang terlarang adalah melakukan onani, apalagi sampai pada tahap jadi kebiasaan. Jadi perbuatan onani bukanlah perbuatan normal yang biasa-biasa saja. Para ulama dan ahli kesehatan juga telah menyatakan adanya mudharat yang akan merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami istri ketika berkeluarga. Selain itu, onani merupakan perangai buruk yang rendah dan hina serta memalukan. Seorang muslim yang berakal dan berakhlak mulia akan menjaga dirinya semaksimal mungkin dari perbuatan yang hina ini, maka kami nasehatkan kepadanya hal-hal berikut ini:

1. Hendaklah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon ampunan-Nya.

2. Menyabarkan diri agar tidak terjatuh kembali ke dalam kebiasaan buruk tersebut dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar mampu menghindarinya.

3. Segera menempuh solusi yang akan membebaskannya dari onani dengan cara menikah, jika sudah mampu dalam hal biaya untuk itu.

4. Jika belum mampu menikah, hendaklah memperbanyak puasa hingga syahwatnya benar-benar hilang dan luluh dengan puasa.

5. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan ibadah dan kegiatan duniawi yang bermanfaat baginya untuk mengalihkan pikirannya dari onani.

6. Menjauhkan diri dari hal-hal yang membangkitkan syahwat, seperti melihat wajah dan sosok wanita secara langsung atau melalui gambar, bercampur-baur (ikhtilat) dengan wanita, dan yang semisalnya yang bisa membangkitkan syahwat.

Ini yang bisa kami nasehatkan, semoga anda dan yang mengalami hal yang sama dengan anda diberi hidayah dan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk membenahi diri dan menempuh lembaran hidup baru di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang tidak boleh berputus asa dari kebaikan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, kesempatan masih terbuka lebar dan tidak ada kata terlambat selama hayat masih dikandung badan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Bersemangatlah engkau untuk meraih apa-apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta janganlah engkau berputus asa.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

MASTURBASI MEMBATALKAN PUASA?

Pertanyaan: Apakah membatalkan puasa seseorang yang melakukan masturbasi hingga mengeluarkan air mani?

Jawaban:

Perlu diketahui bahwa masturbasi hingga ejakulasi (istimna’) dengan bantuan tangan sendiri atau dengan bantuan alat hukumnya haram atas laki-laki dan wanita, baik sedang berpuasa atau tidak.

Demikian pula halnya istimna’ yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki, atau pun bercumbu dengannya, berpelukan dan semisalnya, dengan maksud mencapai ejakulasi untuk memuaskan syahwat saat sedang berpuasa hukumnya haram, karena hal ini termasuk mengumbar nafru syahwat yang terlarang saat berpuasa. Begitu pula hukumnya atas wanita yang melakukannya dengan suami atau budak wanita dengan tuannya saat dia sedang berpuasa.

Guru kami yang mulia, Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dalam Ijabatus Sa’il (hal. 174): “Jika seorang lelaki bermesraan dengan istrinya (bercumbu dan berpelukan) untuk memuaskan syahwatnya dengan ejakulasi di luar farji istri, maka dia berdosa dengan itu. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda dalam hadits qudsi yang diriwayatkannya dari Rabbnya:

“Orang yang berpuasa meninggalkan makanannya, minuman dan syahwatnya karena Aku.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Jika dia melakukan hal itu dalam keadaan jahil (tidak tahu hukum), maka ketika dia mengetahui hukumnya hendaklah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika dia bermesraan dengan istrinya dalam keadaan mengerti hukum bahwa boleh baginya bermesraan dengan istrinya [5] selain jima’ (bersetubuh), lalu dia mencapai ejakulasi, sementara dirinya tidak bermaksud untuk itu, maka dia tidak berdosa.”

Hal ini membatalkan puasa, seperti halnya ejakulasi yang dicapai dengan jima’ (bersetubuh) yang merupakan pembatal puasa, berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini dikuatkan dengan hadits qudsi di atas bahwa orang yang berpuasa menahan diri dari makanan, minuman, dan syahwat yang merupakan pembatal-pembatal puasa. Sementara ejakulasi merupakan syahwat dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Pada kemaluan setiap kalian ada shadaqah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya dan dia mendapat pahala dengannya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tahukah kalian, kalau dia meletakkannya dalam perkara yang haram, apakah dia berdosa karenanya? Demikian pula halnya jika dia meletakkannya dalam perkara yang halal, maka dia mendapat pahala karenanya.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)

Tentu saja ejakulasi saat orgasme (puncak kenikmatan syahwat) adalah syahwat yang terlarang saat berpuasa dan membatalkan puasa, dengan cara apapun seseorang mencapainya. Meskipun memang benar bahwa jima’ (bersetubuh) itu sendiri membatalkan puasa, walaupun tanpa ejakulasi.

Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/224), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/386-388) dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259-260) rahimahumullah.

Inilah yang nampak bagi kami dalam permasalahan ini. Sangat sulit dibenarkan bahwa halal-halal saja bagi orang yang berpuasa untuk melampiaskan syahwatnya dengan ejakulasi selain jima’ (bersetubuh), padahal hal itu jelas-jelas merupakan pemuasan syahwat yang semakna dengan ejakulasi yang dicapai dengan jima’.

Kesimpulannya, jika hal itu sengaja dilakukan dalam keadaan mengerti hukum, maka pelakunya berdosa dan puasanya batal. Wajib atasnya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak disyariatkan baginya untuk mengqadha (mengganti) puasa yang batal itu di luar bulan Ramadhan, menurut pendapat yang rajih (kuat). Karena yang rajih tidak disyariatkan bagi yang meninggalkan puasa atau membatalkan puasanya secara sengaja untuk mengqadha dan tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/225-226), dan guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ijabatus Sa’il (hal. 175).

Adapun masalah kaffarah, maka ejakulasi dengan selain jima’ (bersetubuh) tidak ada kaffarahnya, menurut pendapat yang rajih. Seluruh ulama yang kami sebutkan di atas sepakat dalam hal ini. Sebab dalil kaffarah hanya datang pada masalah jima’ atas orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan dengan jima’. Dan hal ini tidak bisa disamakan dengan ejakulasi tanpa jima’, karena jima’ urusannya lebih keras.

Keterangan ini untuk puasa wajib. Adapun puasa sunnah, maka boleh bagi seseorang untuk membatalkannya kapan saja dia mau dengan melakukan pembatal-pembatal puasa yang ada tanpa konsekuensi dosa. Namun ulama mengatakan bahwa tidak sepantasnya membatalkannya tanpa tujuan yang mengandung maslahat.

Wal ‘ilmu ‘indallah.

Catatan kaki:

[1] Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam majelis beliau. Silakan lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’, walhamdulillah -pen.

[2] Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa Al-Lajnah (10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il (19/234, 235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir -pen.

[3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) -pen.

[4] Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir -pen.

[5] Maksudnya tanpa disertai niatan untuk memuaskan syahwat dengan ejakulasi di luar farji istri. -pen

Sumber:

• Majalah Asy Syariah no. 56/V/1431 H/2009, hal. 65-68. (Lihat)

• Majalah Asy Syariah no. 57/V/1431 H/2010, hal. 70, 71 dan 76.

About Fadhl Ihsan

Silakan temukan saya di http://facebook.com/fadhl.ihsan

Posted on 28/08/2010, in Uncategorized and tagged , , . Bookmark the permalink. 40 Komentar.

  1. Ass,,, saya mau tanya.
    Ada temen mau minta tolong ke saya untuk membelikan motor di surabaya, alasannya dari pada beli di dealer mending sama temen. Ok saya sudah belikan secara tunai tapi temen ini bayar nya secara DP dan kredit (cicil) tapi belum ada kesepakatan mau bayar berapa per bulan, hanya pembeli ini tiap bulan bayar menurut dia…
    Pertanyaan saya, apa boleh saya mengambil untung dari sistim kredit tersebut,,,? untuk data stnk & bpkb pake nama pembeli itu bukan nama saya… mohon jawabannya.

  2. Jika dana pembelian motor baru tersebut berasal dr kantong Anda, pada hakikatnya motor tersebut merupakan milik Anda. Diperbolehkan bagi Anda untuk menjualnya secara kontan maupun kredit.

    Seandainya Anda mengambil untung dengan dijual secara kontan pun tidak masalah. Jika Anda ingin menjualnya secara kredit (cicil) tiap bulan dengan harga akhir berbeda dengan harga kontan, ini pun diperbolehkan insya Allah. Misalkan jika motor tersebut dibayar kontan seharga 12 juta, jika kredit setahun, per bulan dicicil 1,1 juta, total pembayaran akhir tahun = 1,1 jt x 12 = 13.200.000

    jual beli sistem kredit seperti contoh di atas pun diperbolehkan menurut pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh para ulama yg tergabung dlm Al Lajnah Ad Daimah..

    Allahua’lam

  3. Assallammuallaikum….saya mau tnya’
    Kemarin teman saya ada yang melakukan onani 2x sedangkan dia tidak tahu bhwa onani itu haram hukumnya dan dia selalu bertanya,apakah onani itu bisa menghilangkan keperjakaannya. Sampai saat ini dia masih kepikiran.
    Baaimana solusinya???
    Wassallamuallaikum

  4. assalamualaikum.
    Saya mau tanya, istri saya udah ke 4 kalinya menolak berhubungan dengan saya, akhirnya saya g tahan, dan onani. Gmana hukumx ustad?

  5. Apakah berpikiran mengenai sesuatu yang jorok keluar mani apakah hukumnya termasuk hukum onani atau gak ?

  6. Sering muncul pertanyaan
    Apakah melakukan onani 1 minggu 1-3x atau 1 bulan 1-6x disebut berlebihan atau normal ?

  7. saya keluar air mani dan saya bermandi wajib.selepas mandi wajip sya menyedari air keluar dari kemaluan sya .adakan itu air mani dan perlukah saya bermandi wajip semula

  8. Sisa air mani yang keluar dari kemaluan setelah Anda mandi wajib hanyalah mewajibkan wudhu. Anda tidak perlu mengulangi mandi wajib.

Tinggalkan Balasan ke ratna Batalkan balasan